12.9.08

apatisme, ismeapatis, apasmeti blablabla..

Apatis.

Apatis terhadap siapa?

Apa yang di-apatis-kan?

Keseharianku yang stagnan tidak pernah bisa menghentikan tangan kananku berhenti menulis, jari-jariku menari di atas papan berisi huruf dan angka dan simbol-simbol bias..

Menari.. Menulis, meski tidak indah.

Terkadang, menikmati hidup persis seperti saat kita meminum secangkir kopi yang masam karena memasukkan terlalu banyak gula ke dalamnya.

Ibaratkan kopi adalah hidup, masam adalah hasil jerih payah, dan gula adalah hal yang kita lakukan demi meraih hasil yang kita inginkan.

Kita menyeduh kopi dengan air panas, lalu kita mencoba meminumnya dalam usaha pertama, terasa pahit, lalu kita menambahkan gula ke dalamnya, namun masih terasa pahit di lidah, akhirnya kita terlalu banyak menambahkan gula lalu yang terasa adalah masam. Mungkin seperti hidup yang selalu ingin terasa manis dan mencoba meraihnya dengan cara secepat mungkin, dan tidak belajar dari pengalaman pertama dan merangkak dari bawah.

Huh, Perumpamaan yang buruk, tapi ini lah yang ku bisa.

Kegagalan bukan hal yang harus ditangisi.

Hah!! Kata-kata itu terlalu lazim dikatakan banyak orang. Oh, bakarlah semangatku, kata-kata tersebut sangat memiliki kekuatan.

Gagal? Menyerah? Lalu berhenti hidup dengan cara bunuh diri? Atau menjadi apatis terhadap diri sendiri.

Percuma kita menganggap orang lain apatis terhadap dunia luar, sementara kita masih apatis terhadap diri sendiri. Yang menjalani keseharian, dengan harapan menjadi sesuatu yang dipandang oleh semua mata.

Lebih baik terpejam daripada selalu mengomentari orang lain sementara kita sendiri masih perlu dikomentari.

Terkadang aku terlelap di malamku, hanya terkadang, karena acapkali adzan subuh menemaniku tidur. Mataku hanya bisa terpejam setelah merasa lelah dan tidak terpaksa.

Aku tidak bisa memaksakan kehendak mataku untuk terpejam meski semua orang mengatakan paksakan saja, karena kaupun akan tertidur. Sayangnya, aku masih sulit percaya, aku masih sulit melakukannya.

Aku pun terpejam, tanpa terpaksa, dengan ikhlas.

Tujuanku hanya satu, istirahat. Aku menyadari yang terpenting dalam hidup ini adalah kemampuan untuk menenangkan diri, peduli kepada diri sendiri agar kita tidak terlalu terbebani dengan masalah.

Masalah dengan diri sendiri.

Masalah diri sendiri kita anggap angin lalu. Dampaknya mungkin tidak instan dan tak terasa dalam hitungan jam, tapi mungkin dalam hitungan hari, bulan, tahun. Setelah kita lupa dengan masalah personal karena ketakutan kita untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, di masa depan, kita dihadapi dengan masalah yang sama dan telah kita lupakan, dan sialnya kita telah berhadapan dan tidak bisa kita hindari.

Dan mengahadapi masalah yang tidak kita pedulikan acapkali menjadi pelontar positif menjadi negatif. Apa yang terjadi?

Mati rasa, mati rasa menghadapi hidup dan saat itu juga keluhku, tak terelakkan, air mata berlarian, tanpa mampu dikejar oleh jariku.

Apatis..



----------------
Now playing: Stina Nordenstam - Little Star
via FoxyTunes

1 komentar:

belajarmenulis mengatakan...

samptisme

terkadang kita emang tak pernah peduli dengan apa yang kita rasakan, terkadang kita juga enggan untuk merasakan sakit yang kita rasakan, karena mungkin terlalu sakit hingga mati rasa.
namun itu semua hanya sebuah frekuensi hati kita sendiri untuk menemukan frekuensi baik dan menghempaskan semuanya dan menikmati frekuensi jernih dan positive, kadang sulit memang menghadapinya.
namun itulah perasaan kita, kadang kita harus menjadi dokter pribadi bagi pribadi kita sendiri.