16.10.09

Sebuah tarian untuk kawan, Batu

Demi sebuah derai begitu keras menghantam
Aku percaya tidak ada yang pernah menjadi batu

Batu
Batu
Batu
Batu

Sekeras batu itu,
Air mata yang mengalir mengalur, siapa bisa menyangkalnya

Berlanjut pada derai yang pada akhirnya terhenti,
Kau, seorang batu

Batu
Batu

Terlalu lama didera dingin, bukan hujan..........

Dingin, ya dingin

Bukan hujan yang membuat lubang, bukan

Demi pijakanku, bukan
Langkahmu tak pernah terhenti, dan batu itu tak pernah memaksa henti
Aku percaya sebuah derai, bukan derai pertama, bukan terakhir

Sekali lagi, demi pijakanku, demi sembahanku, BUKAN!

Deraikanlah air matamu, derai, derai teriakku!
Kita telah berpijak pada pijakan yang sama, derai!

Satu lubang, bertahan, tak tertutup, tapi
tertambal.
Rapi.
Dan esok, rapi.

Derai membuat lubang, membuat lubang,
Pada batu, tetesan, air mata air.
Bukan, penghenti langkah, demi pijakanku, bukan.

Aku percaya, kelak, Rapi, wahai..
Batu.

Haekal Adzani.16.10.09.23.53.P.M.
Untuk seorang sahabat.

Dadu

Jadi kita kembali lagi pada dunia yang heterogen.
Miskin kaya tua muda kecil besar tuan nyonya.
Seperti enam sisi sebuah dadu yang berpeluang sama saat dilempar.
Saat itu pula derita berada di atas dan tawa tertimpa.
Tidak adil berbicara kapan tawa menyeruak di wajah tirus, dan kapan murung menyeruak dari wajah gembira.

Aku pernah menjadi seorang kuat, dan menindas-nindas.
Tapi kesesaatan itu membuatku sadar.
Kaki tak bisa selamanya memental ke kepala makhluk paling sempurna.
Ada kalanya kaki kita terikat dan butuh waktu melepas ikatannya.

Maka, demi setiap keberagamannya, tidak ada harap secuil pun untuk membuatnya homogen, hanya, harap yang menggunung, menggunung, menggunung, membuatku, menjadi cermin bagi diriku, bukan membuat -mu, -nya, mereka.
Bukan tuan, bukan.
Acak itu menebar senyum, tangis, luka, dan bahagia.
Dari situ lah, kita memilih dan membangun cermin itu.

Biarkan dua sisi dadu ku biarkan kosong, dan akan kupilih, apa yang akan kuisi.

Haekal Adzani.
16.10.09.2:22.a.m.