5.1.11

Cak Roes, "Manusia" Untuk Anak-Anaknya

Dia dijuluki manusia tiga zaman. Lahir dan berjuang di zaman sebelum kemerdekaan, menjadi pejabat pemerintahan di zaman Orde Lama, dan menjadi Ketua Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila di zaman Orde Baru. Itulah almarhum DR. H. Roeslan Abdulgani.

Roeslan Abdulgani memegang peranan penting bagi Indonesia, selain pernah menjadi Sekjen Konferensi Asia Afrika, pria yang akrab disapa Cak Roes ini juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada kabinet Ali Sastroamidjojo II, dan penerus Mohamad Yamin sebagai Menteri Penerangan dalam Kabinet Kerja IV. Selain itu, Cak Roes juga pernah menjadi duta besar Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-bangsa di New York.

Cak Roes lahir di Surabaya pada 24 November 1914 dan wafat pada 29 Juni 2005 di Jakarta saat dia berusia 90 tahun. Dari pernikahannya dengan Sihwati Nawangwulan, Cak Roes ini dikaruniai lima anak.

Kesibukannya semasa aktif menjadi pejabat negara, tidak membuat Sekretaris Jenderal Konferensi Asia Afrika ini melupakan anak-anaknya. Roeslan selalu menyempatkan diri untuk bercengkerama dengan buah hatinya. Setidaknya di waktu senggang, dia memberi nasihat maupun wejangan untuk mereka.

“Dulu, waktu bapak kerja di Jakarta, di waktu kosong, bapak selalu menyempatkan diri untuk makan siang bersama, selain itu juga, jika tidak berhalangan bapak mewajibkan anak-anaknya makan malam satu meja di rumah,” ujar Roestini Wulan, anak pertama Cak Roes.

Waktu-waktu untuk makan bersama seperti itu yang membuat anak-anaknya merasa dekat meski ayahnya sangat sibuk. Momen makan bersama dijadikan waktu untuk ayahnya dapat mengobrol dan bertukar pikiran mengenai kesibukan dan kegiatan masing-masing.

***

Pagi itu cerah, rumah tingkat dua bergaya kuno tersebut masih sepi. Saat memasuki halaman rumahnya, terlihat patung penjaga untuk “Tolak Bala.” Deretan mobil terparkir rapi di garasi. Dengan ramah, anak bungsu Cak Roes membukakan pintunya. Di rumah itulah, Roeslan Abdulgani menghabiskan hidupnya, setelah pemerintahan pindah dari Jogjakarta ke Jakarta, Roeslan mendapatkan rumah di daerah Menteng, Jakarta Pusat. Rumah itu didiami Roeslan selama tinggal di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, Roeslan dan istrinya Sihwati Nawangwulan tinggal satu atap dengan anak bungsunya, Hafilia R. Ismanto sekeluarga.

“Dulu saya dari lahir tinggal sama bapak dan ibu, sehingga bisa dikatakan saya sangat dekat dengan mereka karena tinggal satu atap dengan mereka,” tutur Hafilia yang hingga kini masih tinggal di rumah peninggalan Cak Roes saat diwawancarai di kediamannya.

Bagi anak-anaknya, Roeslan dikenal sebagai sosok yang sangat gemar membaca dan menulis. Bahkan Cak Roes sudah merilis beberapa buku, salah satunya berjudul The Bandung Connection yang bercerita mengenai Konferensi Asia Afrika. Hobi baca dan tulisnya dicerminkan oleh banyaknya koleksi buku milik Cak Roes yang tersusun rapi di rumahnya. Buku-buku tersebut dijadikan sebagai referensi dalam menuliskan pandangan-pandangannya selama hidup.

“Hobi bapak memang membaca, membaca apa saja dan pemikirannya dituturkan dalam tulisannya,” tutur Rudiono Iskandar, anak ke tiga Roeslan Abdulgani.

Isi kepala ayahnya ini yang membuat anak-anaknya banyak belajar dan memahami hidup dari ayahnya. Menurut Hafilia, ayahnya adalah seorang sosok yang sangat manusiawi.

“Contoh yang saya ingat adalah bagaimana saat Aidit dan Soebandrio sudah uzur di dalam penjara, bapak ingin agar pemerintah membebaskan mereka berdua. Alasan bapak adalah, di usia mereka yang sudah tua, apalagi yang bisa mereka lakukan?” kisah wanita kelahiran 4 Oktober 1958 ini. Menurutnya juga, dalam hal ini, bapak sangat mengedepankan unsur kemanusiaan.

Sosok Roeslan Abdulgani sebagai seorang ayah sangat menginspirasi anak-anak saat mereka beranjak dewasa. Menurut Roestini, ayahnya bukan seorang yang bersikap otoriter terhadap anak-anaknya, namun juga tidak memanjakan. Saat Roestini sekolah, ayahnya tidak memberikan fasilitas yang serba nyaman baginya. Roestini dan adiknya, Retnowati diharuskan untuk menggenjot sepeda dari rumahnya di Menteng sampai kawasan Gambir, Jakarta Pusat.

Bagi Rudiono, menjadi anak seorang pejabat saat itu bisa dia nikmati. Dia mengatakan bahwa banyak hal yang bisa dia manfaatkan. Salah satu yang menguntungkan adalah dari bidang bahasa. Ayahnya mahir berbahasa Inggris dan Belanda. Meski Rudiono tidak mengerti, dia menjadi tidak asing dengan bahasa tersebut. Koleksi bacaan yang beragam milik ayahnya, membuat dia bisa memanfaatkan koleksi tersebut untuk kegiatan-kegiatan akademis.

Selain itu, dia bisa menyalurkan hobinya ngutak-ngatik mesin mobil, minta dibelikan senapan untuk berburu, minta scooter untuk dia utak-atik juga. Namun Rudiono mengakui bahwa sejak kecil, karena jarang berkomunikasi dengan orang tuanya, dia menganggap bahwa Mbok Tum, orang yang dia sebut nanny-nya adalah figur yang dianggap orang tua baginya. Rudiono juga mengakui bahwa dia adalah anak yang nakal dan suka membolos.

“Kayaknya saya satu-satunya yang pernah dipukul sama bapak karena ketahuan bolos, tapi bapak dulu mukulnya pakai handuk, jadi tidak sakit,” tegas suami dari Catlien ini.

Kesibukan ayahnya juga yang membawa anak-anak lainnya untuk bisa hidup mandiri. Rudiono contohnya, setelah duduk di bangku kuliah di New York, dia melancong ke Belanda untuk bekerja di sebuah perusahaan elektrik asal Belanda. Dia mengaku, sejak itu, dia hidup mandiri secara ekonomi.

“Saya dan bapak sama-sama bangga dulu, lepas dari bangku kuliah, saya sudah bisa cari uang sendiri, betul-betul mandiri, dan bapak pun bangga saya bisa hidup seperti itu,” tukas pria yang akrab disapa Rudi ini.

Pindah ke New York

Saat menjabat sebagai duta besar Indonesia untuk PBB, Cak Roes memboyong istri dan empat anak terakhirnya, karena anak pertama, Roestini, sudah menikah dengan seorang pegawai Pertamina. Kehidupan di New York ini, bagi Hafilia betul-betul membentuk kepribadiannya. Ayahnya selalu menuntut dia untuk bisa bergaul dengan orang-orang di sekitarnya sehingga, alih-alih dimasukkan ke dalam sekolah khusus orang Indonesia, Hafilia justru dimasukkan ke sekolah umum di kota New York pada akhir dekade 1960-an itu.

Hafilia mengatakan bahwa dulu ayahnya menyuruhnya masuk ke dalam social cultural system yang baru, sehingga dari sistem sosial budaya yang baru itu, dia bisa mendapatkan nilai-nilai baru dalam hidupnya. “Kata bapak, biar tidak jadi katak dalam tempurung,” ucap wanita yang akrab disapa Lia ini menirukan perkataan ayahnya saat itu.

Dari pengalamannya di New York, Lia mengatakan bahwa kota itulah yang banyak sekali merubah pola pikirnya, lingkungan sekitar yang betul-betul baru membuatnya justru mengalami culture shock ketika kembali ke Indonesia sekitar tahun 1971. Lia mengutip perkataan presiden Amerika Serikat, Barrack Obama, bahwa Indonesia merupakan bagian darinya. Hal tersebut dia yakini karena saat Obama tinggal di Indonesia, dan Lia tinggal di Amerika, umur keduanya hampir sama, dan Lia meyakini bahwa di usia menjelang 10 tahun, sistem sosial budaya yang berbeda akan sangat mempengaruhi kepribadian masing-masing.

“Beda dengan kakak-kakak saya yang datang ke New York pada usia masuk kuliah, kepribadian mereka sudah dibentuk di Indonesia, sedangkan saya yang sedang dalam masa pertumbuhan, masuk ke dalam sistem sosial budaya yang berbeda, itu yang membuat saya berbeda dengan kakak-kakak saya yang lain, apalagi dengan kakak saya yang di Indonesia, Ibu Tien (Roestini). Dari situ, muncul nilai-nilai yang berbeda di antara kami,” tutur Lia.

Selama di New York, menurut Rudiono, keluarganya hidup bersahaja. Tidak banyak fasilitas yang disediakan tersebut digunakan oleh ayahnya. Padahal ayahnya diberikan fasilitas yang cukup mentereng. Rudi mengatakan, “Lucunya, di saat orang-orang sudah mulai menggunakan televisi berwarna, saat saya berkunjung ke tempatnya, bapak ternyata masih menggunakan televisi hitam putih.”

Setelah pulang dari New York, anak-anak Cak Roes ini hidup berpisah. Ada yang melanjutkan studi di Amerika, ada yang bekerja di Belanda, dan ada yang kembali ke Indonesia. Kehidupan ini membuat mereka biasa tinggal jauh dari keluarga. Selain Lia yang tinggal satu atap dan Roestini yang tinggal berdekatan, anak-anak yang menjadi semakin jauh dengan ayahnya. Namun, bagi anak-anak yang tinggal di luar negeri, hal ini menjadi berkah tersendiri.

Saat semua masih tinggal di Jakarta, Cak Roes sudah sangat sibuk sehingga tidak memiliki banyak waktu untuk anak-anaknya meski sesekali di waktu senggang mereka suka piknik bersama. Rudi bersyukur bagaimana dia justru lebih dekat dengan ayahnya setelah mereka hidup berjauhan. Hal tersebut juga diakui oleh Roestini yang semakin dekat dengan ayahnya selama Roestini tinggal di London.

“Bapak kerap mengunjungi saya saat saya tinggal di London,” ujar wanita kelahiran 19 Maret 1942 ini. “Kalau bapak berkunjung, kami banyak bertukar pikiran mengenai banyak hal, bapak juga memberikan wejangan-wejangan bagi saya dan keluarga,” lanjutnya. Saat tinggal di London itu juga menurut Roestini, banyak orang memanfaatkan kehadiran Cak Roes di sana untuk dijadikan pembicara untuk acara-acara orang Indonesia yang tinggal di London.

Jarak yang berjauhan ini membuat komunikasi satu sama lain menjadi renggang dan saat semua anaknya sudah tumbuh dewasa dan bekerja, mereka sulit sekali bertemu.

Menentukan Pilihan Hidup Anak-Anaknya

Cak Roes menurut anak-anaknya bukanlah tipe orang tua yang suka mengintervensi keputusan-keputusan dalam hidup anak-anaknya. Bagi mereka, orang tuanya tidak mengatur ke mana mereka harus sekolah, di mana mereka bekerja. Jika bisa dibilang, hanya satu yang “dicampuri” studinya, yakni Hafil Budianto yang kini tinggal di Malaysia dan bekerja sebagai dokter ahli bedah jantung. Menurut Roestini, waktu itu ibunya mengatakan bahwa dia menginginkan salah satu anaknya menjadi dokter.

“Lalu masuklah Hafil ke sekolah kedokteran saat di Amerika,” tegas Roestini.

Roestini juga mengatakan bahwa dirinya sendiri juga sedikit diarahkan oleh ayahnya dalam pendidikan. Karena keburu menikah, dan tidak menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, saat sudah tua, Roestini duduk di bangku kuliah lagi atas saran dari ayahnya untuk mengenyam pendidikan di Jurusan Filsafat Universitas Indonesia. Setelah lulus, Roestini menjadi dosen di Institut Sains dan Teknologi Nasional untuk mengajar filsafat.

Meski berstatus sebagai seorang politikus, Cak Roes tidak mengharuskan anak-anaknya ada yang terjun di dunia politik. Menurut Lia, ayahnya mungkin tidak ingin anak-anaknya masuk ke dalam dunia politik yang ruwet. Selain Hafil dan Roestini, anak-anak Cak Roes bekerja di berbagai bidang, yakni Lia yang bekerja sebagai Direktur Akademik di LIA, padahal dia adalah lulusan Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia. Sedangkan Retnowati Abdulgani sebagai penulis yang pernah menulis buku tentang Soeharto, dan Rudiono yang pernah bekerja di perusahaan-perusahaan asing sampai akhirnya berwiraswasta.

Di luar studi dan pekerjaan, Cak Roes juga tidak banyak mengatur anak-anaknya dalam menentukan pendamping hidupnya. Roestini mengatakan bahwa dulu orang tuanya hanya memberi pesan agar dirinya benar-benar merasa cocok dengan pasangan hidupnya.

“Saya padahal dulu sempat takut hubungan saya tidak disetujui karena pasangan saya bukan orang Jawa, ternyata sama bapak boleh saja, asalkan sreg” kata Roestini.

Sebagai seorang nasionalis, figur Cak Roes menurut Lia, tidak hanya menjadikan Pancasila sebagai dasar negara saja, namun nilai-nilai Pancasila juga diterapkan dalam hidupnya. Hal ini tercermin dari keberanian Cak Roes untuk menikahkan Lia dengan calon suami yang tidak seiman.

“Saat itu, bapak menyetujui pernikahan saya, dan bapak mencarikan tempat di mana pernikahan tersebut bisa dianggap sah, sehingga bapak menanyakan pendapat sana-sini sampai akhirnya bisa dianggap sah juga di catatan sipil, karena Kantor Urusan Agama tidak bisa mengesahkan pernikahan saya,” kenang Lia.

Selain Lia, Rudi juga pindah agama saat tinggal di Belanda, lalu kemudian menikah dengan yang seiman. Rudiono mengatakan, “Dulu, Ibunya bapak adalah seorang guru mengaji di Surabaya, namun pesannya adalah agar bapak tidak mengharuskan anak-anaknya memeluk agama tertentu, tapi dikenalkan dengan Tuhan. Kata bapak, Tuhan itu kan sifatnya universal, yang penting adalah ketuhanan itu sendiri. Setiap orang akan yang beriman kepada Tuhan akan mendapatkan Nur Illahi. Sehingga bapak tidak ada masalah dengan keputusan saya saat itu.”

Tidak hanya itu, mengenai pembagian warisan pun, Cak Roes menurut anak-anaknya menerapkan pembagian yang aneh. Anak-anak Cak Roes yang laki-laki diberi tanah kosong, sedangkan yang perempuan diberi rumah.

“Padahal, menurut hukum Islam, perbandingannya laki-laki dengan perempuan adalah dua banding satu, tapi itulah keputusan bapak bagi anak-anaknya,” ujar Rudi. Tapi menurutnya, bapaknya melakukan hal demikian agar anak laki-lakinya bisa mengelola tanah tersebut untuk dijadikan ladang usaha, sehingga Rudi meyakini bahwa pemikiran ayahnya itu masuk akal.

Meski anak-anak Roeslan Abdulgani hidup di dalam dunia yang berbeda, menurut psikolog, Danti Soegidjardjo, pola asuh yang diberikan oleh orang tua tidak lepas dari karakteristik orang tuanya sendiri. Oleh sebab itu, ada nilai-nilai yang sama yang ditanamkan oleh orang tuanya sendiri. Yang membedakan sifat mereka adalah intensitas komunikasi dengan orang tua. Anak yang lebih sering berkomunikasi dengan orang tuanya biasanya lebih merasa secure dan lebih cepat matang ketimbang yang jarang berkomunikasi.

“Dalam perkembangan anak sendiri, yang sangat memengaruhi adalah lingkungan. Sikap anak bisa sangat berbeda meski dari keturunan yang sama akibat dari lingkungan sekolah dan pergaulan yang berbeda,” ujar Danti. “Anak yang dibesarkan di dalam keluarga yang belum stabil kondisi ekonominya bisa berbeda sifat dengan saat keluarga sudah mapan. Hal tersebut bisa dikarenakan kondisi emosi orang tua yang belum stabil” sambungnya.

Menjadi anak seorang tokoh, menurut Danti, bisa saja membebani mereka sebagai anak atau bisa juga menjadi kebanggaan. Itu tergantung pada bagaimana orang tua menjadi role model bagi anak-anaknya.

Bagi anak-anaknya banyak nilai-nilai kemanusiaan dan pelajaran-pelajaran berharga yang diajarkan oleh Cak Roes. Pelajaran yang paling penting yang diterima anak-anaknya adalah bagaimana ayahnya kerap mengajarkan tanpa mengatakan apa-apa, tapi langsung menerapkannya. Selain itu juga menurut Lia, ayahnya adalah orang yang mengerti zaman. Dia bisa menempatkan diri di zaman manapun.

“Belajarlah dari sejarah, tidak usah melakukan hal yang sama, tapi tarik benang merah dengan relevansi situasi saat ini, dari hal tersebut, kita akan mendapatkan semangat untuk melakukan kesuksesan yang sama dalam situasi yang berbeda,” tutup Lia.


Oleh Haekal Adzani