26.7.09

Museum, dan Minat Kita

Suatu hari di tahun 1998, saya dan kawan-kawan SD berkunjung ke Museum Sri Baduga, Bandung. Bukan tempat yang aneh karena sejak saya dilahirkan, ayah saya sudah bekerja di sana dan saya penasaran akan tanggapan kawan-kawan tentang dunia museum. Namun, sayang sekali, mereka lebih memilih untuk bermain-main ketimbang memerhatikan apa yang ada di dalamnya. Saya pikir, kami masih sekolah dasar sehingga ketertarikan terhadap dunia museum dan sejarah masih sangat dangkal karena tidak ada perkenalan terlebih dahulu terhadap dunia museum.
Sekitar 1 tahun setelah itu, saya dan keluarga ikut ayah saya ke Amerika Serikat untuk tinggal bersamanya yang melanjutkan studi S2 tentang museum di George Washington University, Washington D.C. Washington D.C. memiliki komplek museum yang begitu terkenal bernama Smithsonian yang berada di bawah Smithsonian Institution.
Smithsonian Institution Building sendiri terletak di National Mall, di jantung ibukota Amerika Serikat, Washington D.C. Institusi tersebut dibentuk pada 10 Agustus 1846. Uniknya, pencetus Smithsonian Institution sendiri adalah seorang berkebangsaan Inggris yang uniknya, belum pernah berkunjung ke Amerika bernama James Smithson.
Kedatangan saya ke Amerika, summer 1999, bertepatan dengan International Folk Art Festival 1999 yang diadakan oleh Smithsonian Institution. Acara yang menampilkan tradisi budaya dari banyak negara di dunia, menurut saya paling menarik adalah tari-tarian Afrika. Mereka mengesankan ada roh nenek moyang yang masuk ke dalam diri mereka sehingga setiap sinkronisasi gerakan terlihat begitu padu dan luwes. Ya, mungkin tidak berbeda jauh dengan tari-tarian Indonesia seperti Tari Kecak dari Bali, atau Tari Topeng dari Jawa Barat. Dan di samping pertunjukkan negara-negara lainnya, justru penampilan dari benua Afrika lah yang begitu membuat saya terpukau. Benua di mana mayoritas negaranya underdeveloped ternyata memiliki penampilan budaya yang sangat-sangat kuat. Di tengah arus globalisasi, tidak ada yang bisa menahan mereka untuk tetap mengabdi kepada leluhur mereka.
Selepas mengunjungi Folk Art Festival, saya masih belum menyadari ternyata banyak anak-anak yang antusias mengunjungi Festival yang di Indonesia dimana budaya begitu kuat melekat di dalam kehidupan sehari-hari justru diabaikan begitu saja. Pertama kali mengunjungi satu persatu museum Smithsonian seperti National Museum of Natural History, National Museum of American History, National Museum of the American Indian, National Museum of African Art, Arthur M. Sackler Gallery, National Air and Space Museum dan lain-lain saya langsung terpukau melihat tampilan dan isi dari museum-museum tersebut. Bila di Indonesia segmentasi museum terkesan hanya untuk orang dewasa dan/atau orang-orang yang tertarik tentang sejarah, di sana mereka berusaha menarik pengunjung dari berbagai kalangan dan berhasil. Padahal koleksi mereka bila dibandingkan dengan sejarah Indonesia bagaikan langit dan bumi. Namun Smithsonian mampu mengemasnya dengan sangat hebat, bahkan setiap museum memiliki daya tarik tersendiri akan koleksinya.
Smithsonian tidak hanya memiliki museum di Washington D.C. tapi juga di New York, NY;Chantilly, VA; dan Leesburg, VA. Selain museum, Smithsonian juga memiliki research center mereka sendiri.
Tidak heran rasa penasaran anak-anak begitu besar, di tengah terjangan peralihan sejarah ke pop culture, anak-anak di sana masih bisa membagi waktu antara tak berguna dan main sambil belajar. Kepulangan saya dari Amerika Serikat ke tanah air tercinta ini membuat saya merasa, pada waktu yang tepat, saya akan membantu mengembangkan museum-museum di Indonesia sampai Indonesia memiliki pusat museum dan terkenal ke seluruh dunia.
Namun, ada hal yang wajar mengapa ketertarikan orang Amerika terhadap museum begitu besar dibandingkan orang Indonesia yang notabene memiliki kekayaan sejarah lebih luas. Orang Indonesia sudah biasa memperkenalkan budayanya turun temurun, dan sulit untuk dirubah, juga di zaman sekarang, manusia Indonesia lebih berkiblat ke dunia barat yang telah berhasil menyetir citizens of the underdeveloped country yang memiliki budaya tradisional yang kuat ke dunia kultur pop. Sedangkan para individualis Amerika penasaran akan apa yang ada di sekitar mereka dan di luar mereka, dulu dan kini. Baik di dalam cakupan minat mereka atau bukan karena sifat individualis itu sendiri.
Pada dasarnya, di dalam era globalisasi seperti sekarang, museum tetap menarik untuk dikunjungi oleh semua umur. Tinggal bagaimana kemasan dari museum itu sendiri. Saya yakin bukan hanya Smithsonian saja yang memiliki museum-museum hebat, tapi masih banyak museum-museum lain yang tidak kalah hebatnya.

Tidak ada komentar: