2.1.10

2010, Fanatisme, dan Piala Dunia: Catatan Singkat

2010, ada apa? Bagi saya, yang spesial di tahun ini mungkin satu, Piala Dunia. Ya, 2010 merupakan tahun saat Piala Dunia digelar di Afrika Selatan. Piala Dunia selalu menghadirkan euforia tersendiri bagi insan penggemar sepak bola di seluruh dunia. Kita tahu, bahwa sepak bola bisa menjadi bahasa universal, tanpa mengerti bahasa asing, kita bisa mengerti bahwa sepak bola adalah sebuah permainan yang lebih dari kehidupan mereka tersendiri. Pemain, pelatih, penonton, dan semua insan sepak bola adalah makhluk hidup. Tapi di sisi lain, sepak bola menjadi hal yang melebihi makna hidup. Di sinilah kita bisa melihat bahwa sepak bola telah berubah menjadi sesuatu yang dimaknai lebih, bahkan cenderung berlebihan oleh segelintir orang, bahkan banyak orang.

Kita menyebutnya suporter, di Bandung biasa disebut bobotoh, dan di Italia biasa disebut tifosi, el tifoso, atau di Inggris, dinamakan hooligan, dan masih banyak sebutan-sebutannya. Artinya, apa yang mereka dukung, itu adalah hidup mereka. Saat Stadion Siliwangi masih digunakan secara rutin oleh Persib untuk bertanding, tribun penonton selalu penuh oleh para bobotoh, khususnya tribun Timur dan Selatan. Beberapa jam sebelum pertandingan, para bobotoh berbondong-bondong melakukan perjalanan dari berbagai pelosok Bandung, bahkan Jawa Barat. Tak jarang meresahkan warga yang melintas. Tapi itulah fanatisme, terkadang seorang fanatis berubah menjadi seorang Machiavellis yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kepuasan demi fanatisme mereka.

Salah? Benar? Tidak ada salah benar dalam fanatisme, sebuah fanatisme muncul di hati mereka bisa saja secara tiba-tiba, atau mungkin secara bertahap lalu mendasar dan mendarah daging. Bahkan turun temurun di dalam diri para fanatis. Siapa yang patut disalahkan? Bahkan pendidikan yang tinggi pun belum tentu bisa menjadi sebuah jaminan bahwa seorang fanatis tidak akan berbuat bodoh demi fanatisme, dalam konteks ini, sepak bola.

Menghadapi tahun 2010 ini, kita dihadapkan pada Piala Dunia, khususnya rakyat Afrika Selatan yang berbangga diri karena untuk pertama kalinya dalam sejarah, benua Afrika menjadi tuan rumah perhelatan sepak bola terbesar di dunia. Hooligan Inggris, Tifosi Italia siap membanjiri setiap penjuru Afrika Selatan dimana tim kesayangan mereka akan bertanding, belum lagi suporter tuan rumah. Itulah suporter, lintas negara dan benua, dimana tim kesayangan mereka bertanding, terkadang mereka melakukan
whatever it takes untuk hadir mendampingi tim kesayangan mereka.

Afrika Selatan, sebuah negara di selatan benua Hitam yang menjadi tuan rumah perhelatan 4 tahunan ini harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik. Modal superbesar yang dikeluarkan bisa kembali dengan devisa yang masuk, dan bahkan secara jangka panjang, perhelatan yang sukses akan menjamin kredibilitas mereka sebagai negara yang baik untuk dikunjungi. Kesuksesan dalam menjalankan event sepak bola, bisa menjadi sebuah kepercayaan jangka panjang bagi dunia luar. Saya tidak akan membahas ancang-ancang Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 karena terlalu dini, dan semua bisa berubah dalam waktu 12 tahun. Yang justru saya takutkan adalah rencana menjadi tuan rumah ini hanya akal-akalan untuk menggaet simpati dari masyarakat Indonesia yang cenderung gila bola agar orang-orang yang berada di belakang pencalonan Indonesia sebagai tuan rumah memiliki banyak pendukung di belakangnya.
Lip service? Bukan tidak mungkin.

Piala Dunia selalu menjadi bahan perbincangan, bahkan saat Piala Dunia 2006 berakhir, semua orang sudah membicarakan tentang perhelatan 4 tahun ke depan, 8 tahun, 12, 16, 20, 24, bahkan seterusnya. Oleh sebab itu, tidak salah jika saya mengatakan bahwa euforia 2010 adalah Piala Dunia, karena kita sudah semakin dekat. Dengan 32 peserta di depan mata, rasanya mustahil jika Piala Dunia tidak menjadi bahan perbincangan banyak orang, khususnya penggemar sepak bola, semua kalangan.

Universalitas sepak bola, menjadi kunci, bagi kita semua, untuk mengerti, arti sebuah permainan, dan hidup.

Argentina dan Inggris, Persepolis dan Esteghlal, Persib dan Persija, Ajax dan Feyenoord, Barcelona dan Real Madrid, adalah segelintir contoh, dimana sepak bola bukanlah sebuah permainan yang menjadi urusan klub semata, tapi juga ribuan, bahkan jutaan orang di sekeliling mereka, yang acapkali bertindak "gila" untuk meraih kepuasan, bagi mereka, dan klub kesayangannya. Maka, Piala Dunia 2010, datanglah, dan biarkan suporter, pecinta sebuah permainan bernama sepak bola, dipuaskan, dengan permainan indah, melebihi hidup.

Tidak ada komentar: