23.9.08
fungsi terkunci, kuncinya kemana?
kata janji tidak pernah lebih dari sebuah tawar menawar di pasar.
janji bisa ditawar.
janji seperti uang.
bagi setiap desibel suara yang keluar dan semakin lantang terdengar di musim dimana bendera macam simbol berkibar.
di situ pula tawar menawar harga tinggi janji semakin terdengar.
lalu, apa gunanya tebar pesona?
toh kursi itu hanya dipakai untuk menandatangan yang datang satu bulan sekali, karena invasi cap asli maupun palsu bertebaran di bawahnya.
musyawarah.
loh, musyawarah?
yang mana?
pada musimnya pasti turun lagi dari kursi.
1, 2, 3, 4, 5, 6, 32 tahun adalah waktu yang cukup menyenangkan untuk mengisi pundi-pundi sendiri di bawah bendera janji tadi.
pelik?
jauh dari kesan pelik.
SEKARAT!
dua tarian di bawah airmata perang
kencing mesiu
dentum peluru
derap serdadu
tangis ibu, pilu
percik darah
teriak amarah
lontar senjata
sekan lupa, perang
pesta
seolah lupa akan lelah
seperti berlari tanpa menjejakkan ke dua kaki ke tanah
lalu hadir rasa iba
yang ingat akan juang moncong selongsong lempar
menikmati indahnya dunia tanpa peluru
tangis takut ibu dan anak
surutkah niat untuk menarik isyarat?
sumpah matipun kutaruhkan untuk berkata tidak
isu picikmu tertawa atas semua yang kau boncengi
yang kau atur seperti kumpulan korporasi atur bumi
pada akhirnya semua kembali ke tanah
karena setiap-tiap nuranimu terkutuk
acuh, bohong, kembali pada
pesta, pesta mesiu
12.9.08
hangat tertawa, dingin menangis
Hangat Tertawa, Dingin Menangis
Satu riak saat lelap
Tangis jatuh yang tak kerap
Teriak gamang tak terserap
Datang bunyi suara keras
Membuka mata tolak terperas
Kata patah terdengar bebas
Meski raut terkesan bias
Ku senyum hapus riak
Menyisakan hanya kerak
Singgung hati tak merusak
Bunga malam yang semerbak
Tak buih masuk hati
Meski menemani hingga mati
Meski menusuk seperti belati
Katamu membekas sampai nafas terhenti
Bandung, 12 September 2008
2:54 A.M.
----------------
Now playing: Stina Nordenstam - Proposal
via FoxyTunes
apatisme, ismeapatis, apasmeti blablabla..
Apatis.
Apatis terhadap siapa?
Apa yang di-apatis-kan?
Keseharianku yang stagnan tidak pernah bisa menghentikan tangan kananku berhenti menulis, jari-jariku menari di atas papan berisi huruf dan angka dan simbol-simbol bias..
Menari.. Menulis, meski tidak indah.
Terkadang, menikmati hidup persis seperti saat kita meminum secangkir kopi yang masam karena memasukkan terlalu banyak gula ke dalamnya.
Ibaratkan kopi adalah hidup, masam adalah hasil jerih payah, dan gula adalah hal yang kita lakukan demi meraih hasil yang kita inginkan.
Kita menyeduh kopi dengan air panas, lalu kita mencoba meminumnya dalam usaha pertama, terasa pahit, lalu kita menambahkan gula ke dalamnya, namun masih terasa pahit di lidah, akhirnya kita terlalu banyak menambahkan gula lalu yang terasa adalah masam. Mungkin seperti hidup yang selalu ingin terasa manis dan mencoba meraihnya dengan cara secepat mungkin, dan tidak belajar dari pengalaman pertama dan merangkak dari bawah.
Huh, Perumpamaan yang buruk, tapi ini lah yang ku bisa.
Kegagalan bukan hal yang harus ditangisi.
Hah!! Kata-kata itu terlalu lazim dikatakan banyak orang. Oh, bakarlah semangatku, kata-kata tersebut sangat memiliki kekuatan.
Gagal? Menyerah? Lalu berhenti hidup dengan cara bunuh diri? Atau menjadi apatis terhadap diri sendiri.
Percuma kita menganggap orang lain apatis terhadap dunia luar, sementara kita masih apatis terhadap diri sendiri. Yang menjalani keseharian, dengan harapan menjadi sesuatu yang dipandang oleh semua mata.
Lebih baik terpejam daripada selalu mengomentari orang lain sementara kita sendiri masih perlu dikomentari.
Terkadang aku terlelap di malamku, hanya terkadang, karena acapkali adzan subuh menemaniku tidur. Mataku hanya bisa terpejam setelah merasa lelah dan tidak terpaksa.
Aku tidak bisa memaksakan kehendak mataku untuk terpejam meski semua orang mengatakan paksakan saja, karena kaupun akan tertidur. Sayangnya, aku masih sulit percaya, aku masih sulit melakukannya.
Aku pun terpejam, tanpa terpaksa, dengan ikhlas.
Tujuanku hanya satu, istirahat. Aku menyadari yang terpenting dalam hidup ini adalah kemampuan untuk menenangkan diri, peduli kepada diri sendiri agar kita tidak terlalu terbebani dengan masalah.
Masalah dengan diri sendiri.
Masalah diri sendiri kita anggap angin lalu. Dampaknya mungkin tidak instan dan tak terasa dalam hitungan jam, tapi mungkin dalam hitungan hari, bulan, tahun. Setelah kita lupa dengan masalah personal karena ketakutan kita untuk berkomunikasi dengan diri sendiri, di masa depan, kita dihadapi dengan masalah yang sama dan telah kita lupakan, dan sialnya kita telah berhadapan dan tidak bisa kita hindari.
Dan mengahadapi masalah yang tidak kita pedulikan acapkali menjadi pelontar positif menjadi negatif. Apa yang terjadi?
Mati rasa, mati rasa menghadapi hidup dan saat itu juga keluhku, tak terelakkan, air mata berlarian, tanpa mampu dikejar oleh jariku.
Apatis..
Now playing: Stina Nordenstam - Little Star
via FoxyTunes