2.12.09

Janji dan Sepucuk Surat Lokomotif Tua

Roda kereta berderit dan kereta pun berhenti. Siang itu, suhun kota Bandung menunjukkan 31 derajat celcius. Bandung telah menjadi kota yang jauh berbeda semenjak kutinggalkan 3 tahun yang lalu.

Mobil itu tak kunjung datang, ku seret koper-koper tanpa bantuan tukang angkut, aku belum sempat menukar US$ ke Rupiah dalam jumlah banyak. "Asalkan cukup membeli tiket Jakarta-Bandung", gumamku.

Aku masih berharap dia ingat. Sebelum aku pergi dulu, aku berjanji, tepat 3 tahun yang akan datang, 13 Maret 2002, aku akan kembali ke sini. Jika ku bisa, aku beli tiketnya dari sekarang, agar kamu tahu dan kamu ingat, kapan dan jam berapa kau akan menunggu, di sini. Tepat di bawah Lokomotif tua ini berdiri.

Saat itu, 13 Maret 1999. Hari cerah, di mana sebelum aku pergi, kau masih menemaniku bersepeda, di sekitar Taman Sari, lalu memarkirkannya, di pintu kebun binatang.

Aku tak menyangka, bahwa kau akan lupa, akan 13 Maret 2002, aku berjanji, aku akan kembali. Pada jam yang aku katakan, dan ya, meski kereta sedikit terlambat, keterlambatanku bukan hal yang berlebihan jika kau tunggu.

3 jam berselang aku masih di sana, memantik api untuk menyalakan batangan-batangan rokokku yang kubawa dari Maryland.

40 jam sebelumnya, aku masih berada di Dulles International Airport, Washington D.C. untuk melakukan segala hal yang bisa melancarkan kepulanganku.

Aku rindu, rindu sekali.

Kesabaranku habis, guratan-guratan lelah terpancar dari parasku. "Aku lelah", gumamku.

Setiap langkah gontai kupaksakan. Waktu menunjukkan pukul 21:00, Stasiun Bandung Selatan masih ramai dengan para pramunikmat yang menjajakan tubuhnya demi sesuap nasi.

Angkutan umum untuk pulang yang biasa aku naiki sudah tidak beroperasi. Jam kereta terakhir lah yang mereka kejar.

Aku ingat, janjimu. "Saat kau pulang nanti, berikan aku waktu, untuk mempersiapkan segelas teh manis hangat, dan roti isi selai dan coklat, dan awan penuh bintang", bisikmu. Aku tersenyum dan kukecup keningmu.

Aku balas berbisik, "3 tahun bukan waktu yang lama sayang, bukan." Aku selalu berharap bahwa kecupan itu menjadi pengantar tidur terindahmu sebelum aku pergi.

Matamu terpejam, aku pulang.

Kenangan itu yang selalu membuat aku rindu untuk pulang.

Dengan penuh derai tawa, dan begitu bersemangat, aku katakan pada kawan-kawanku, "Aku akan pulang untuk menikmati teh manis hangat dan roti bakar! Tak ada yang seindah itu di sini."

Langkahku semakin melambat. Aku kira aku tak punya lagi tenaga untuk berjalan. "Biarkan aku membuka kamar untuk semalam. Urusan bayar-membayar, biarkan mata uang asing ini yang berbicara", pikirku.

Di sekitar situ, sedikit sekali hotel yang memadai untukku menghabiskan malam. Yang ada hanya hotel-hotel tempat wanita malam melayani tamunya demi sebuah kenikmatan berbalas uang.

Aku masuk ke sebuah hotel yang bahkan begitu samar terlihat papan namanya. Peduli setan, yang penting aku bisa tidur.

Jam 11 aku kembali ke luar untuk mencari makan dan kembali tepat pukul 1.

Ada rasa kesal kenapa aku terlalu percaya pada janjimu, sehingga aku begitu bodohnya untuk tidak menghubungimu. Terbersit niat, namun, "Ah, terlalu malam, jikapun aku hubungi, akan sangat mengganggu tidurnya", ujarku lagi.

Aku pun terlelap.

Mimpiku berbicara, merefleksikan apa yang aku pikirkan selama beberapa jam terakhir.

Kau berada di dalam sebuah kereta, pulang. Kau teriak, "pulang!"

Pintu kereta enggan membuka, meski berusaha kudobrak dan kereta masih berjalan lambat. Pintu tetap enggan membuka. Aku berhenti dan terdiam.

Mimpi berlari dan tidurku gelap.

Jam 12 siang aku terbangun, seharusnya aku sudah keluar dari jam 11 tadi.

Tapi, tak apalah, masih ada beberapa lembar untuk bisa menahanku beberapa malam lagi di tempat ini.

Sempat terbersit untuk pulang, namun, bukan itu tujuanku kembali, bukan. Aku ingin menikmati janjimu, itu saja.

Hidupku tidak bersahaja, aku hidup bahagia dan lebih dari berkecukupan untuk hidup di negeri yang jauh di sana. Banyak yang membutuhkanku, tapi aku telah berjanji padanya, untuk kembali, menikmati janjimu, janjimu itu yang selalu mendorongku untuk membalikkan kalendar dan menunggu saatnya.

Lokomotif itu berdiri gagah, aku berdiri di situ, berputar mengitarinya. Dan kutemukan sepucuk surat.

Aku buka, tertulis, "Aku tak percaya kau akan pulang tepat waktu, tapi nyatanya kau memang datang. Aku tersenyum dan begitu bergembira melihatmu kembali pulang. Sengaja kutinggalkan surat ini agar kau membacanya."

Saat itu juga, aku tahu, itu buatku, tak ada lagi yang memiliki tulisan tangan yang berantakan seperti itu dan ku tetap bisa membacanya.

Setelah aku baca lagi, tidak ada tanda-tanda dia mengetahui aku pulang, atau dia berada di sana, atau apapun. Tidak ada tanda-tanda di mana dia berada sekarang, atau kemarin, atau kapanpun.

Aku terdiam kembali, menunggu malam, dan berharap dia datang kembali sore itu.

Mataku lelah, kupikir ku harus kembali ke kamar, untuk menyimpan tenaga sejenak.

Sore itu, tepat pukul 16:30, aku terbangun untuk mencari makanan kecil di kantin depan hotel. Aku duduk, dan memesan makanan kecil untuk mengganjal perutku.

Pelayan datang dan mengembalikan pesananku, dia mengatakan, "pesanan Anda, 'Teh Manis Hangat dan Roti isi Selai dan Coklat".